Cerpen Religius | Dewi Pedzikir

DEWI PEDZIKIR 

By : Togar_AO 5)

Contoh Cerpen | Cerpen Cinta | Persahabatan | Religius | Dewi Pedzikir
Aku kenal dia belum lama, bahkan namanyapun aku masih belum tahu, kulitnya yang putih dan sorot 

Seperti kali ini, ketika baru saja selesai mandi sepulang dari kantor, aku di sibukkan dengan tumpukan buku di teras depan sambil menikmati kopi hangat yang disuguhkan oleh pembantuku –karena memang aku belum memiliki isteri-. 

Tak lama berselang persis seperti dugaanku, gadis itu muncul dengan mukena putihnya, wajahnya yang cantik semakin bersinar tersapu mentari senja, langkah kakinya begitu tenang, tatapan matanya yang bersih menyapu jalan dengan kepala sedikit merunduk, tak ada bimbang dan keraguan terpancar dari sorot mata itu, kuikuti langkah kakinya dengan ujung mataku hingga dia menghilang di balik pintu surau.

Malam harinya selepas Isya’, seperti biasa terdengar suaranya yang  merdu sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dari arah surau, suara itu seringkali merasuki setiap jengkal nafas di jiwa. Suaranya yang fasih terdengar di gendang telingaku bagaikan doa tanpa cela, kerinduan akan sesuatu jelas terpancar dari kalimat-kalimat yang dia bacakan, sebuah kerinduan seorang hamba kepada Tuhannya, sebuah kerinduan yang terdengar ikhlas terpancar dari ayat demi ayat yang di bacanya, sebuah kerinduan yang sungguh sangat luar biasa bagi gadis seusianya, sebuah kerinduan yang tidak pernah aku temukan di mata gadis-gadis lain, hingga lambat-laun suaranya mampu menembus pertahanan iman di hati, bagaikan denting bel pedati yang membawa nafas kehidupan di tengah malam sunyi.
****

Hingga kinipun aku masih belum bisa mengenal namanya, namun wajahnya yang ayu terus membias di pelupuk mata, dan sinar putih mukenanya sering membuatku betah berlama-lama di teras rumah menunggunya lewat ketika senja mulai menyeret kehadiran malam. Hingga akhirnya pada suatu Maghrib yang damai, kilau mukenanya berhasil menyeretku untuk mengambil air wudlu dan melangkahkan kaki menuju pintu surau, suatu hal yang selama ini jarang sekali aku lakukan, lantas turut dalam lautan dzikir yang di kumandangkan segelintir orang di surau itu.

Sesaat kemudian aroma kedamaian sadarkan aku dari lamunan panjang, kulihat di dalam surau itu hanya ada tiga orang tengah khusuk menguntai putaran tasbih sambil mulutnya komat-kamit entah membaca apa, sesaat diriku terpaku dalam kebingungan, melalui ujung mataku kulihat sang dirinya duduk menyendiri di pojok kanan surau masih asyik dengan bacaannya, wajahnya tenggelam dalam lautan dzikir, mengikuti gerakan irama tasbih yang melantunkan pujian kepada Tuhan. Jendela surau masih belum terpasangi tirai membiarkan mata elok sang rembulan ikut mengintip dan memandang wajahnya yang memang pantas untuk di kagumi. 

Dalam kesendirian kulihat dia mengelus punggung malam, mengobati kerinduan bagi hati seorang hamba yang memang merindukan Tuhannya, bukan seperti aku yang memasuki lautan dzikir hanya karna ingin memandang wajahnya yang berkilau, dan takut akan kehilangan paras ayunya ketika lautan dzikir mulai terhenti di lidah kelu kejemuan yang mencengkram.

Tak terasa malam beranjak larut, satu-persatu mereka yang ada di dalam surau itu mulai mengeringkan lautan puji mereka dengan kata amin.Kulihat mereka mulai keluar menuju pintu keduniawian tempat mereka biasa bercengkrama dengan istri dan anak-anak mereka, tapi dirinya masih tetap larut dalam kesendirian.Lingkaran tasbih masih berputar seperti tadi seakan-akan dirinya hanya hidup dalam rindu pada Tuhannya, sebuah kerinduan yang terasa hangat bila terdengar telinga, dan terasa sejuk saat merasuki nurani.

Lama kutunggu namun dia tetap tenggelam dalam lautan dzikir, ku pandangi dari tempat dudukku kelopak
Aku terlempar jauh menuju laut duniawi lagi, rasa putus asa membuatku muak pada perasaan dalam hatiku sendiri, baru kali ini aku merasa lemah, hingga perlahan dan tanpa suara ku bangkit dan mulai kugapai pintu surau, rasa rinduku pada dunia menyuruh agar aku segera melupakan tatapan nan sejuk miliknya. 

Namun tanpa kuduga tiba-tiba tangannya yang halus dengan lembut menahanku dari belakang, wangi mukena yang dia kenakan mungkin mampu menembus raga pembatas nurani hingga merasuki setiap unsur di sanubari.Kepalaku menoleh dengan detik yang sengaja kubuat lambat, bibirnya tersenyum, tapi tatapannya masih tetap dingin, dalam hitungan menit berikutnya dia berkata. “Rindulah dengan rindu yang sebenar-benarnya, jangan merindui keberadaanku, dan jangan takut akan ketiadaanku.

Keberadaanku hanyalah sebab, dan ketiadaanku hanya akibat. Jika kau rindu yang sebenar-benarnya rindu kepada Tuhanmu, maka keberadaanku akan selalu menyertaimu dalam batas waktu yang tak menentu. Namun jika kepalsuan memeluk rindumu, maka selamanya kau tak akan mampu hidup dalam ragaku”.

“Keberadanku ibarat surga, dan ketiadaanku ibarat neraka”.
“Janganlah kau rindu kepadaku, tapi rindulah yang sebenar-benarnya kepada Tuhanmu, maka Tuhanmu pasti

Begitu indah kata-kata yang di ucapkannya, kucerna setiap unsur kalimat itu dalam hati, lama ku terjebak dalam kebingungan yang indah, hingga tanpa kusadari dia telah menghilang bersama datangnya fajar di surau itu. Rupanya tak sengaja aku tertidur di surau itu semalaman, ketika membuka mata sekelilingku telah sepi, hanya suara detik-detik waktu yang menghiasi malam menjelang fajar, menandakan bahwa sang waktu masih belum meninggalkan putaran rodanya di malam ini. 

Kini sebuah dunia baru menghiasi pandangan mataku, hatiku menjadi lebih lapang, kata-kata sang dewi masih terus terdengar di telinga, kupahami dan kuresapi setiap kata demi kata yang semalam meluncur dari balik bibirnya, Aku tak lagi mencari sang dewi pedzikir tadi, aku tak lagi merinduinya, akhirnya aku menemukan kembali kejernihan dalam lautan hidup dan ibadahku, kata-katanya kini selalu mengundangku untuk merindukan Tuhan  dengan rindu yang sebenar-benarnya.
akan memberikanmu suatu wujud yang bernama aku.
****
/2016/05/contoh-cerpen-cinta-persahabatan-dewi-pedzikir.html


Dua puluh satu tahun kini telah terlewat, surau di samping rumahku masih tetap seperti dulu. Kini anakku yang pertama telah berusia sembilan belas tahun, dia kini belajar di salah satu pondok pesantren terkenal di luar kota, sedangkan anakku yang kedua masih duduk di bangku MTs kelas satu, kini rutinitasku setiap malam bertambah dengan menjadi imam di surau samping rumah setiap Maghrib, Isya’ dan Shubuh, kedamaian kini telah kumiliki karena sang dewi pedzikir telah memasuki kehidupanku, matanya tetap sejuk seperti dahulu dan raut wajahnya masih selalu menyiratkan kedamaian bagi siapa saja yang memandang. 

Dua puluh tahun yang lalu melalui perantara seorang ustad di desaku akhirnya sang dewi bersedia menerima lamaranku, hingga pada suatu hari yang cerah, dirinya yang selama ini menjadi mutiara di surau kami telah sah menjadi isteriku, seorang pendamping hidup yang akan selamanya menjadi ibu bagi anak-anakku, dan seorang ibu yang akan menjadi guru sekaligus teman bagi anak-anak kami, seorang ibu yang akan mengayomi dan mendidik mereka dengan kasih sayang yang melimpah, agar kelak mereka semua bisa menjadi dewi pedzikir seperti dirinya.

****
Tak ada badai di keluarga kami, yang ada hanya kedamaian dan canda tawa sepanjang hari, anak-anak tumbuh dalam dekapan kasih sayang kami berdua, apabila malam telah tiba, ketika si bungsu telah masuk ke kamarnya, sang Dewi yang telah jadi isteriku selalu memberiku sebuah pelukan hangat sembari kepalanya di sandarkan di dadaku.

Seperti malam ini, ketika semua makhluk sedang terlelap dalam mimpi-mimpi indah, dia menatap mataku dalam-dalam, terlihat dengan jelas ada api kerinduan di matanya yang perlahan-lahan mulai meredup, sesaat kemudian dia pun menarik nafas panjang, di hitungan menit berikutnya dia berkata.
“Kini seluruh hidup ku telah menjadi tumpuan kasih sayangmu dan anak-anak kita, jika suatu saat nanti Tuhan menginginkan kita untuk berpisah, maka kutitipkan sebagian dari rindu ini untukmu, agar engkau bisa membesarkan anak-anak kita hingga dewasa”.

Dia termenung menatap langit-langit kamar, tatapan matanya kosong, selang beberapa lama dia terdiam dia meneruskan kembali ucapannya.
“Jangan habiskan rindumu hanya untukku, tapi perbanyaklah rindu kepada Tuhan dan sisakan sedikit untukku dan untuk anak-anak kita, maka Tuhan pasti akan memberikan suatu wujud yang bernama aku.Maka cintailah aku karena kau menginginkan ridlo-Nya”.

Hingga kini kata-kata itu terus mengiang di telingaku, walaupun dia telah meninggal dua tahun yang lalu karena kanker rahim yang dideritanya, namun sampai detik ini aku masih terus mengingat kata-katanya, agar aku terus mencintai dewi pedzikirku hingga kelak Tuhan mempertemukan kami kembali di surga-Nya.Aamiiin

Matanya yang terpejam. Lama ku bergulat dengan pikiranku sendiri, ku mencoba menyentuh sukmanya untuk ku ajak bercanda, tanganku mulai berani menggapai sajadah tempat dia bersinggasana, ingin kupeluk dia dengan perasaan taubat yang dibuat-buat, aku ingin hidup di dalam dirinya dengan segala kemunafikan yang mungkin dia tidak akan pernah tahu sebelumnya. Tapi dia tetap terpejam, tak sekalipun matanya melirik kepadaku. Matanya yang dingin dan nafasnya yang sejuk  tetap larut pada rasa rindu seperti tadi. 

Lama aku menunggu agar dia membuka mata, walaupun hanya sesaat dia melirikkan matanya aku sudah bersyukur asalkan mataku ini juga bisa memandang bayangan surga yang tergambar jelas. Sungguh aku ingin sekali hal itu terjadi oh Tuhan….aku ingin sekali berenang dalam telaga matanya yang kemilau, ingin aku dekat dengannya agar segala hasrat di hati ini bisa terpenuhi. Namun sekian lama aku menunggu, dirinya tak jua membuka mata, duduknya masih tetap seperti tadi, putus asa kini mulai menghantam jiwaku, kesabaranku mulai habis, tak apalah aku tak bisa memandang wajahnya untuk malam ini, mungkin esok dia akan sudi membuka matanya untuk sekedar menatapku agar rasa dahagaku ini sedikit terobati, begitu batinku berkata.

Matanya yang bening seakan menyimpan sejuta makna, dia selalu lewat di depan rumahku saat adzan Maghrib berkumandang di surau yang pas berada di pojok samping kanan rumah. Menurut cerita kakekku dulu sebelum dia wafat, surau tersebut sudah ada sebelum aku lahir, entah sudah berapa kali di renovasi tapi tetap saja masyarakat yang berjamaah sedikit sekali, “mungkin Tuhan masih belum membukakan pikiran dan hati mereka” begitu kata-kata kakekku yang masih terus mengiang di telingaku walaupun dia telah sepuluh tahun yang lalu meninggal dunia. Lama tak kuperhatikan perkembangan di surau itu, kesibukanku mengejar karir di perusahaan tempatku bekerja tak menyisakan sedikitpun kesempatan untuk sekedar shalat berjamaah di surau itu. Hingga akhirnya pada hari ini perhatianku tertuju pada sosok gadis yang setiap senja selalu melewati halaman rumahku itu. 
*****