Cerpen | Honey

HONEY
By :Togar-AO 5

Lambat laun wajah dalam kertas foto itu mulai usang termakan waktu, tak terasa hampir empat tahun aku menyimpan seraut wajah dalam potret itu dalam laci meja kerjaku, di balik lipatan buku agenda yang tak pernah sekali pun aku sentuh, seraut wajah itu telah lama menghilang dari benakku, mungkin karena tersimpan terlalu lama dalam sanubariku yang paling dalam hingga rintik hujan pun seakan tak mampu lagi membersihkan karat dalam hatiku ini walau hanya sekedar untuk mengintip. Dan tak terasa pula hampir empat tahun pula aku tak pernah lagi mengirimkan kado ucapan selamat ulang tahun padamu. Waktu yang memaksa aku untuk berlari tak memberikan aku sedikitpun kesempatan untuk mengingat serpih-serpih

Cerpen Cinta | Cerita Cinta Paling Romantis | Honey
kenangan kita dulu.Hingga pada suatu hari aku menemukan kembali seraut wajah yang hilang itu, ketika hatiku terobrak-abrik oleh kejenuhan lautan rindu, tak sengaja aku menemukan kembali semua itu saat aku buka kembali buku-buku yang aku tulis untuk menceritakan kisah cinta kita dahulu. Aku damai ketika seraut wajah itu datang, dia menghadirkan kembali kenangan-kenangan indah saat kami menjelajahi lorong-lorong waktu di tepi pantai biru. Entah kenapa, disaat aku menyatukan kembali serpih-serpih kenangan dalam cerita potret itu, aku kembali menemukan suatu ketenteraman yang telah lama ingin sekali kutemukan.

-Honey- begitu sederhana kata-kata yang engkau bisikkan ditelingaku untuk sekedar mengingat namamu. Senja itu engkau berkata masih akan mengingatku untuk selamanya, tak perduli apakah saat itu aku telah menjadi penjaga cinta milik orang lain. Tapi janji yang terucapkan dari bibir mungilmu itu telah memaksa aku untuk percaya, bahwa harapan cinta dimasa yang akan datang telah engkau serahkan pada diriku, dan seluruh unsur hidupmu yang akan menentukan hitam dan putih jalanmu, telah engkau suruh aku sebagai nahkodanya.

“Apakah engkau siap untuk menungguku dalam waktu yang tak menentu?”.
Hanya kata-kata itu yang sanggup aku ucapkan, sambil menatap dalam-dalam bola matanya, aku berusaha untuk menemukan jawaban yang seharusnya memang tidak usah dia jawab.
Hingga dalam dalam kebisuan di menit berikutnya dia berkata.
“Indah mahkota telah engkau punyai, keikhlasan cinta telah engkau ajarkan padaku. Apakah itu belum cukup bagiku untuk sekedar menunggu dirimu kembali, walau kedatanganmu tak akan terkabarkan oleh ruang dan waktu”.

Indah katanya tertata, tulus hatinya berkata. Dalam sinar matanya yang biru, aku menemukan setitik kesungguhan yang bersinar bagaikan sekumpulan api unggun kehangatan yang senantiasa menghangati hatinya yang dingin. Dingin oleh ketakutan yang merajam, karena bentangan pedih penantian pasti akan menunggunya jika dia merelakan aku pergi.

“Aku rela berkorban untukmu”.
Sepenggal kata itulah yang terakhir kali engkau ucapkan, setelah itu akupun mulai mengemasi semua kasih sayangku. Ku kemasi semua rasa rindu yang yang belum puas aku menikmatinya, dan tanpa menoleh lagi aku pun pergi, meninggalkanmu seorang diri di terminal itu, dalam senja yang pekat, tak kupedulikan lagi teriakan-teriakan hatimu agar aku tak berlalu dari dekapmu.
Hasrat untuk merubah masa depan di negeri seberang telah membulatkan tekad, walau hangat pelukmu masih sisakan bara di tubuhku.
****
Dan kini…. Ketika kehangatan mulai menghilang dari hatiku yang dingin, aku kembali teringat pada api unggun dihatimu yang dulu pernah terangi jalanku. Kucoba kembali mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan yang tersimpan . Ingin sekali kupandang kembali cinta abadi di wajahmu, ingin sekali kutanyakan apakah senyummu kini masih tetap utuh untuk diriku, apakah cintamu masih sama seperti yang dulu, saat kumeninggalkanmu empat tahun yang lalu.
Tanpa berita dan tanpa suara, kurapikan bingkai dihatiku yang pernah terlupa, kuayunkan langkah kakiku

Cerpen cinta paling romantis

menuju kota tempatmu berlabuh. Sengaja tak kukirimkan kabar –karena memang aku tak pernah mengirimimu kabar- . Dengan bis antar kota akhirnya aku tekadkan hati mengunjungimu di Shubuh yang dingin, ketika fajar mulai tiba diantara butiran malam yang mulai tersingkirkan kelambu mega.
Aku tiba di terminal kotamu saat senja, terminal yang dulunya menjadi saksi bisu detik-detik perpisahan kita, gema adzan Maghrib menyambutku menapaki waktu, kerinduan semakin membuatku bagai orang buta, walau setengah dari tubuhku di dera kelelahan yang amat sangat. 

Tapi semua tidak usai sampai di sini, perjalanan masih harus kuteruskan dengan menumpang angkutan pedesaan yang berangkat setiap setengah jam sekali. Jalan di kotamu masih  tetap seperti dulu, saat kita menikmati canda tawa sepanjang jalan sambil sesekali tangan mu mencabuti bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggiran jalan, lobang-lobang di jalan pun masihlah sama, suara gemerisik daun diterpa anging seakan-akan masih menyimpan semua kenangan kita, menyeretku dalam lautan lamunan yang indah, hingga tak terasa adzan Isya menyambutku menapaki halaman runahmu.

Di depanku sebuah rumah bercat biru yang mungil, menjanjikan ketenangan dan ketentraman bagi siapapun yang menempatinya. Rumah itu masih sama seperti dulu, itulah rumahmu, bunga-bunga tertata rapi di halamannya yang mungil. Di rumah inilah empat tahun yang lalu aku dan dia pernah melewati indah senja, mereguk habis semua kebahagiaan dengan cangkir canda tawa, bersenandung tarian anggrek dan kerlingan nakal mawar.

Rumah itu sunyi, sesunyi hatiku yang sejak dulu tercerai dan tersiksakan oleh perjalanan panjang tanpa tahu arah mana yang  pantas aku tuju. Di malam itu hanya terang lampu neon yang menerangi ruang tamunya yang mungil. -Honey- kueja satu-persatu huruf yang tertulis pada papan nama depan pagar, dengan hati ragu perlahan kuketuk pintu rumahnya, agar suara ketukan tak sampai mengagetkan isi rumah. Pada ketukan berikutnya hatiku mulai bertanya pada langkah kaki yang semakin mendekati pintu tempatku berdiri.

“Apakah cinta dan harapanku masih engkau simpan rapi Honey?”
****