Cerpen | Malam-Malam Ira

CERPEN
MALAM-MALAM IRA
By : Togar AO - 5

Menyeruput teh atau kopi sambil mata jelajatan kesana kemari adalah menu utama yang disuguhkan pemilik warung yang biasa kami panggil mami itu, di tambah lagi belasan gadis yang bisa menemaniku  menghapus gundahnya hati, membuat diriku betah berjam-jam bahkan semalaman suntuk nyangkruk di warung itu, mereka selalu saja menebarkan senyum yang membuat hati ini penasaran ingin melumat senyum itu. 

Begitulah suasana warung itu di setiap malamnya, walaupun hanya sekedar untuk menyeruput segelas kopi sambil cuci mata, tetapi tetap saja suasana di warung itu mengasikkan buatku. Di atas kursi kayu tepatnya di sudut ruang, wajah manis Lusi, Ita, Wardiah dan Ira selalu menebarkan senyum, sepertinya mereka memang sengaja mempertontonkannya agar para lelaki hidung belang yang mendatangi warung itu  tergoda untuk melirik lalu akhirnya bertekuk lutut dalam pelukan mereka.

Malam itu alunan musik masih terdengar dari warung kecil itu, redup lampu lima watt terasa malas memberikan terang, angin malam sesekali bertiup terbawa laju kendaraan berat yang lewat, orang-orang silih berganti datang dan pergi, ada yang membawa setumpuk permasalahan karena istrinya di rumah selalu ngomel karena uang belanjaan hanya cukup untuk beli terasi saja, ada juga yang hanya membawa secuil resah di hati karena sang kekasih kabur dengan orang lain, ada juga yang hanya bermodalkan iseng semata sehingga mereka terpaksa betah berlama-lama duduk di warung itu.  Di antara orang-orang itu aku adalah salah satu dari mereka, setiap suasana hati sedang

jenuh aku selalu menyempatkan diri mengunjungi tempat itu, entah sudah berapa banyak lembaran ribuan melayang demi membayar keisengan ku itu, hingga tak terasa aku kini menjadi akrab dengan si pemilik warung yang biasa aku panggil mami itu. Tubuhnya agak bongsor, namun sisa-sisa kecantikan masih terpancar dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi tato kupu-kupu kecil yang nangkring di pangkal lengannya seakan-akan ikut bercerita bahwa masa mudanya dulu tidaklah jauh berbeda dari gadis-gadis yang kini menjadi anak buahnya. 

Dandanannya yang menor selalu menebarkan senyum setiap kali aku datang ke warung itu, semua gadis-gadis yang ada di warungnya adalah pasukan-pasukan penghasil rupiah bagi dia, saat ini kuhitung hanya ada sebelas gadis yang tersisa setelah Wati dan Alfi pergi, kesemuanya cantik-cantik, namun dari mereka semua ada sebuah wajah yang selama ini secara diam-diam aku menyukainya, dia bernama Ira, raut mukanya putih, senyumnya manis, ditambah lagi dua lesung pipit di pipinya saat dia tertawa. Seandainya boleh aku jujur padanya, ingin aku katakan bahwa wajahnya sangat mirip dengan seseorang yang dulu pernah mengukir hatiku dengan indahnya cinta pertama, dengan kata lain wajahnya mirip dengan pacarku dulu, ah…. Baiknya aku tak mengingat lagi wajah itu, karena semakin aku mengingatnya semakin perih hati ini dan semakin dalam luka di hatiku.
****
Malam masih dini ketika aku memasuki warung itu, sapaan khas mami tak menghalangi mataku mencari sosok tubuh mungil Ira.
“Sudah tadi sampean datang mas ?”

Hampir copot jantungku ketika Ira dengan tiba-tiba muncul dibelakangku sambil mengepulkan asap rokok mild dari balik bibirnya yang memang mungil. Wajahnya yang lugu kembali mengingatkan aku pada seseorang yang dulu pernah menjadi cerita dalam hidupku. Nasib telah memisahkan kami dengan sangat kejam, dia dikawinkan oleh orang tuanya dengan seorang anggota dewan yang katanya wakil rakyat tapi tidak pernah memikirkan penderitaan rakyat sepertiku jika kehilangan kekasih belahan hatinya. 

Ya dari pada harus kelaparaan bila kawin dengan aku yang hanya sebagai guru honorer di SD, mending aku relakan saja dia menikah dengan dia. Pergolakan memburu nasib, dan kenginan untuk hidup mapan memaksa dia untuk menukarkan kejujuran hatinya dan cintanya dengan segepok uang dan harapan manis walau harus rela menyakiti aku. Dia menjual cintanya dengan bayaran sebuah rumah gedung, dengan menghianati aku yang cuma mampu hidup di rumah kontra’an kecil di samping SD tempat ku mengajar.

Aku masih ingat betapa sakitnya hatiku waktu itu, pernikahannya dengan Sudiono MPDi anggota dewan itu telah menorehkan luka yang tak akan mungkin aku sembuhkan, pesta pernikahannya yang sangat meriah tak terganggu oleh rintihan hatiku ketika melihat dia dengan senyum kebahagiaan menyalami setiap tamu undangan yang hadir termasuk aku. Hingga kini, delapan tahun berlalu tak sengaja aku kembali menemukan rasa yang hilang itu melalui sentuhan manja seorang Ira. Gaya bicaranya, tingkah manjanya, dan semua yang ada di dalam tubuhnya seakan-akan telah membawaku pada kenanganku delapan tahun silam, kenangan yang sebenarnya ingin sekali kulupakan, namun kini hadir kembali seiring melalui kehadirannya
* * *
Seperti malam-malam lainnya, pada malam itu aku terburu-buru memasuki pintu warung yang masih terlihat sepi, maklumlah aku datang bertepatan dengan berkumandangnya adzan Isya’ di langgar yang letaknya tidak begitu jauh dari warung tempat Ira biasa mangkal

“Kenapa tetap di pintu, cepatlah kemari” panggil Ira menyambut kedatanganku
Tanpa menunggu lama aku langsung menghampiri dia, terasa sekali  pikiranku kini menghadapi masa lalu yang sebenarnya ingin sekali kubuang, tapi tetap saja makna masa lalu ku itu begitu memabukkan aku, wajahnya yang memang mirip sekali dengan dia memaksa aku untuk kembali membuka memoriku tentang seseorang disana, 

seseorang yang kini entah bersama siapa, seseorang yang amat sangat aku sayangi walaupun dia telah menyakiti perasaanku, seseorang yang amat kurindui walaupun dia menghianati cintaku, namun rasa cinta ini lebih besar daripada rasa sakit hatiku, dan kini aku menemukan kembali semua itu, ketika lentik jemari dan halus tutur kata Ira menyentuh kalbu, aku kembali bergelimang dengan nyanyian-nyanyian masa lalu yang menghampiri raga ini.

“Mas kenapa diam saja, ngomong dong”suara Ira terdengar begitu merdu.
Aku tak menaggapi pertanyaannya, kembali pikiranku tertuju pada angan konyolku, batinku berkata wanita seperti dia tidak cocok hidup di bawah atap rumah pelacuran, wanita seperti Ira seharusnya hidup di rumah yang damai dan penuh dengan kasih sayang, dia seharusnya memiliki sentuhan lembut tangan seorang suami yang mampu melindungi dan mengayomi dia, bukan seperti di sini yang mana semua laki-laki berhak untuk merasakan indah tubuhnya asal sanggup membayar.

“Kok masih bengong sih, kalau masih tetap bengong ntar Ira tinggal lho!” kata-kata Ira membuyarkan lamunanku
“Oh sorry, ah nggak apa-apa, aku cuma mikirin kamu aja, habis lama gak bertemu” sebisa mungkin aku menyembunyikan pikiran konyol di
kepalaku.

Malam itu untuk kesekian kalinya aku habiskan kejenuhanku dibalik malam bertemankan Ira, entah sudah berapa kali dia menemaniku menghabiskan malam, namun sampai detik ini aku tetap saja merinduinya, dia bagaikan embun didalam hatiku, dia bagaikan air yang ku temukan di kala hatiku kemarau, di tabir rindu ini kami sering bercerita dengan bahasa kami masing-masing, sebuah bahasa kerinduan yang amat menyiksa namun mengasikkan
* * *
Bersama Ira aku mendapatkan rasa saling membutuhkan, hingga dia bagiku bagaikan candu yang semakin aku menghisap maka semakin aku merasa membutuhkannya. Pernah terlintas dalam otakku untuk menikahi dia, ingin aku entaskan dia dari hitamnya rumah bordir itu, aku tak peduli walaupun dia bukan gadis suci, karena aku juga bukanlah sosok lelaki bersih. 

Ingin sekali aku membangun sebuah biduk rumah tangga dengannya, ingin sekali aku mendengar anak-anak ku kelak memanggil dia dengan sebutan mama, tapi aku tidak punya keberanian untuk kesana, nyaliku sebagai seorang lelaki telalu kecil, apalagi bila teringat akan gajiku yang masih dibawah rata-rata, gajiku yang hanya cukup untuk hidup pas-pasan menyurutkan niatku untuk melangkah kesana, tak mungkin aku bisa membahagiakan Ira dengan keadaanku sekarang ini. Tetapi bila aku teringat kata-katanya waktu itu, dia  bercerita kepadaku ingin mempunyai sebuah keluarga yang utuh, mempunyai anak yang lahir dari rahimnya dan membesarkannya dengan siraman kasih sayang di dalam rumah yang penuh keharmonisan.

“Aku sudah bosan mas, dengan kehidupan yang seperti ini”
Kembali teringat kata-kata Ira waktu itu, untuk yang kesekalian kalinya dia mengutarakan keinginannya untuk keluar dari semua ini, tapi keberanian yang kecil dan kebutuhan untuk hidup, terus saja memaksa dia terus hanyut dan terbawa oleh alur kehidupannya, sebuah kehidupan malam yang rentan bahaya bagi gadis seanggun Ira.
 * * *
Seminggu telah berlalu, dan telah seminggu pula aku tidak menyambangi Ira di warung mami , namun setiap malam kusempatkan diriku untuk merindukannya, kucoba membandingkan dia dengan gadisku yang dulu, kuhembuskan disetiap sela fikiranku dengan wajahnya, kusisipkan disetiap rongga telingaku dengan suaranya, kusisipkan setiap sisi dijantungku dengan manis senyumnya, kucoba resapi apa arti semua kata yang pernah diucapkan bibirnya. Akhirnya aku sadar bahwa memang dia pantas menerima yang terbaik bagi hidupnya, memang dia pantas untuk mempunyai sebuah keluarga yang utuh dan seorang suami yang baik. 

Renungan demi renungan  menimbulkan sebuah harapan baru dalam benakku, keberanianku mulai tergugah, materi bukanlah suatu syarat mutlak untuk menikahi wanita yang aku cintai, Tuhan pasti mengatur jalan hambaNya untuk mencari rejeki jika memang orang itu menggunakannya dijalan yang memang diridhoi olehNya. 

Akhirnya malam itu kulewatkan dengan tenang, kubulatkan tekad untuk mendatangi warung dan mengutarakan maksudku ini pada mami bahwasanya aku ingin menikahi Ira, walaupun dia kuentaskan dari hinanya dunia malam, aku masih percaya kesucian cinta, karena cinta datang bersamaan dengan datangnya kebenaran, cinta tak mengenal arti kehinaan, bila ia datang pada satu hati, maka hati itu akan menjadi buta, semua yang dilihatnya adalah suci, meskipun ia tahu cinta itu datang dari lembah kehinaan, namun tetap saja kesucian cinta tak akan ada yang bisa merubah. Seperti halnya Ira, kebutaan cinta telah merasuki setiap warna nafasku, hingga aliran darahku hadirkan kebutaan disetiap langkah.
* * *
Keesokan harinya aku melangkah tenang menuju tempat Ira bekerja , dalam anganku terbayang sebuah rumah yang mungil, seorang bayi yang imut dan seorang istri cantik yang selalu menyambutku setiap pulang dari mengajar. Angan ku disibukkan oleh harapan-harapan indah. Semakin kupercepat langkah kakiku hingga tak terasa aku memasuki warung itu, suasana tampak sepi, yang nampak hanyalah Lusi, Ita, Wardiah, dan seseorang tua yang sedang duduk menatapku kosong.

“Kamu nyari mbak Ira ya mas?” tanya Wardiah ketika melihatku celingukan dipintu warung
“Eh, iya, emangnya dia ada dikamarnya ?” tanyaku tanpa bisa menyembunyikan perasaanku untuk secepatnya menemui dia, agar kubisa selekasnya memberi kabar baik untuknya bahwa aku siap menikahinya, aku siap menjadi suami yang baik, dan aku siap untuk menjadi ayah bagi bayi-bayi yang dia lahirkan kelak.

“Mbak Ira tadi siang telah pergi, dia sudah berhenti kerja disini mas, dia dijadikan istri muda oleh seorang mandor yang dulu sering kesini” cerocos Wardiah sembari matanya menerawang.
“Iya war, beruntung banget Ira itu ya! Sudah kawin dapat suami kaya lagi, kalau aku dilamar dia, pasti akan ku terima tanpa syarat, lagian orangnya nggak jelek-jelek banget khan” Lusi ikutan berkomentar.

Bagaikan petir di siang hari, seketika itu juga seluruh persendianku lemas, apakah benar semua yang dikatakan oleh Wardiah dan Lusi, apakah mereka sungguh-sungguh jujur mengatakannya, ataukah mereka hanya menggodaku dengan menyebarkan berita bohong, namun kulihat tak ada dusta di wajah mereka, hatiku menjadi cemas, setengah berlari aku menuju tempat mami , kutanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Ira, aku ingin sekali membuktikan bahwasanya perkataan Wardiah dan Lusi tidak benar.

Akhirnya kutemukan mami di kamar tengah, tanpa membuang waktu kutanyakan perihal Ira padanya.
“Apakah benar Ira pergi dari sini ?” cerocosku.

“Kamu tahu dari Wardiah dan Lusi ya?” mami balik bertanya tanpa menoleh padaku, tangannya masih sibuk mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil “Tolong ceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi pada Ira” aku semakin tak kuasa menahan gemuruh di dalam hatiku ini

Mami lalu mengawali ceritanya sambil mengambil tempat duduk di sampingku. “Sebenarnya aku sudah berjanji pada Ira tak akan mengatakan semua ini kepadamu, namun kini dia telah pergi, dan aku pikir sudah seharusnya sekarang kamu mengetahi semua tentang dia” 

mata mami menatap tajam kearahku membuat aku semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Mami kemudian  melanjutkan ceritanya “Dulu waktu pertama kali Ira datang ke tempat ini, dia terlihat seperti orang yang sedang putus asa, akhirnya setelah aku telusuri akhirnya dia mau bercerita apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya. 

Nama dia sebenarnya bukanlah Ira,Ira adalah nama yang kuberikan setelah dia resmi bekerja di sini, dia pernah bercerita kepadaku, dia sebenarnya mempunyai seorang suami seorang anggota dewan, namun kelurganya yang harmonis itu tiba-tiba terguncang badai yang hebat, sang suami yang sangat dia cintai kepincut sekretarisnya sendiri, akhirnya dia pun diceraikan ketika sedang hamil dua bulan” cerita mami terputus, matanya terlihat menerawang ke arah masa silam, setelah terdiam cukup lama  mami kembali meneruskan ceritanya.

“Namun semenjak kedatanganmu di warung ini, kulihat kesedihan dimatanya berangsur-angsur menghilang, tak ada lagi mendung kegalauan tergantung di wajahnya, sempat juga hatiku bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi pada Ira. 

Hingga akhirnya pada suatu malam dia mendatangi kamarku dan mulailah dia bercerita tentangmu, dia mengatakan kepadaku engkau adalah seseorang yang dulu pernah memberinya cinta sebelum dia memilih menikah dengan mantan suaminya dulu, Ira mengatakan kepadaku bahwa dia sebenarnya masih menyayangi kamu, namun sebisa mungkin dia menyembunyikan identitas dia yang sebenarnya di depan kamu sebab dia tak ingin menyakiti perasaanmu untuk yang kedua kalinya, karna semenjak suaminya pergi, di dalam hatinya hanya ada dendam pada semua pria, Ira ingin menyakiti semua lelaki sebagaimana suaminya dulu menyakiti dia”

“Apakah nama asli Ira adalah Agustiningsih ?” akhirnya terlontar juga pertanyaan itu, sebuah pertanyaan singkat namun sanggup mewakili semua kegalauan dalam hatiku.
“Iya…..” jawab mami ringan tanpa ekspresi, lalu dia melanjutkan ceritanya kembali.
“Sebelum Ira pergi dia menitipkan pesan untukmu, dia ingin engkau mencari pendamping hidup yang lebih mulia daripada dia, carilah seorang isteri yang sanggup menemanimu di saat susah maupun senang, bisa memelukmu di saat engkau kedinginan, dan bisa menjadi tauladan bagi anak-anakmu kelak. Dan dia juga berpesan kepadamu, jika esok engkau memiliki seorang putri yang manis, ceritakan juga padanya tentang kisah seorang perempuan yang selalu terhina di dalam hidupnya, seorang perempuan yang terpaksa menggeluti dunia hitam karena kekejaman seorang suami telah mencampakkannya di dalam dunia hitam yang sangat kelam, agar cukuplah dia saja yang bernasib seperti ini”

Belum selesai mami  bercerita tiba-tiba kepalaku mendadak pusing, darah di pergelangan tanganku seakan-akan terhenti, lanjutan dari cerita mami tak lagi kudengarkan, hatiku bagaikan tercabik-cabik ribuan sembilu, ternyata orang yang selama ini selalu setia menemani malamku tak lain adalah gadis yang pernah mengisi cinta pertama di dalam hatiku. Kenapa aku begitu goblok tidak mengenalinya. Kini dia telah pergi, dan tak mungkin lagi dia dapat menemaniku seperti yang selama ini kuimpikan, kini duniaku benar-benar telah hancur, keinginanku untuk menikahinya telah tinggal bayang-bayang, dia pergi bersama seorang mandor dengan setumpuk dendam pada semua lelaki di hatinya.

Senyuman Ira kini tak lagi menghiasi malam di warung mami, hingga tanpa kusadari, kini sudah tiga tahun aku tak pernah lagi mengunjungi warung itu, kerinduanku telah terkikis habis bersama langkah Ira, tak ada hasrat di hati ini untuk mencari gantinya, cinta di hatiku kini telah kering bersamaan dengan kepergiannya di malam itu, akan kuarungi sisa hidup ini hanya dengan bertemankan serpihan-serpihan kenanganku dengannya. 

Kini ijinkanlah aku pergi agar bisa abadi memilikimu, memiliki dan mencintaimu dengan caraku sendiri. Kini aku tak lagi takut kehilanganmu, karena didalam hatiku engkau tetap hidup, hidup bagai bunga teratai di tepi kolam, memberi keindahan sebagai pembangkit jiwa yang sempat layu, dan mengilhami setiap langkah kakiku menuju terjalnya jurang penantian, sebuah penantian yang panjang, hingga di esok hari mungkin engkau ada niat untuk kembali, di saat itupun aku tetap menanti.
*****