Gadis Mata-Mata | Cerpen

GADIS MATA-MATA

Oleh: Togar_AO 5)

Malam masih berliku menyisakan keletihan di hati kami, luka di lengan kiriku masih mengeluarkan darah, separuh dari celanaku terpaksa kurelakan untuk dijadikan perban, hampir saja akibat pertempuran semalam nyawa kami semua terenggut, sebab tanpa di duga para kompeni meminta bantuan pesawat-pesawat tempur mereka dari Surabaya, pasukanku lari kocar-kacir, dua diantaranya bahkan ada yang gugur, tak sempat kami menyelamatkan mereka sebab desingan peluru yang di muntahkan perut-perut pesawat Belanda terlalu deras menghujani hutan tempat kami melarikan diri. 

Bunyi  pesawat itu seperti suara halilintar yang setiap saat bisa membunuh dengan tembakan-tembakannya, hingga pada Shubuh yang jauh kami berhasil melewati perbatasan Besuki-Bondowoso, dan pesawat pemburu itu telah menghilang, “mungkin amunisi

Aku menjadi kapten semenjak pak Dirman memerintahkan perang gerilya, dulu pasukanku berjumlah enam puluh orang, namun yang tersisa kini tinggal dua puluh, empat puluh di antaranya gugur dalam pertempuran. Aku tak bisa berbuat banyak sebab senjata pasukan Belanda lebih canggih dibandingkan senjata pasukanku yang hanya mengandalkan senapan-senapan karatan rampasan dari tentara jepang, itupun

Contoh Cerpen | Pendidikan | Cerpen Perjuangan | gadis mata-mata

jumlah amunisinya sangat sedikit sekali, tetapi semangat patriotisme di dalam hati tak pernah luntur, kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah suatu keharusan bagi kami, sekali merdeka tetap merdeka meskipun semua itu harus di tukar dengan nyawa satu-satunya. Semangat seperti itulah yang setiap hari selalu aku saksikan di setiap mata pasukanku, terlebih lagi bila aku memandang mata Ratna, satu-satunya pejuang wanita di dalam barisan anak buahku, ia ikut bergabung bersama kami semenjak ibu, bapak, dan suaminya tewas tertembus peluru saat tentara Belanda membumi hanguskan desanya, dia sendiri selamat setelah sehari semalam bersembunyi di kolong tempat tidur yang biasa dia jadikan tempat menaruh beras sehabis panen. 

Usianya kini kira-kira dua puluh satu tahun, usia yang masih terlalu muda untuk menjadi pejuang dan merasakan ganasnya kehidupan gerilya di tengah-tengah hutan belantara. Bendera merah putih kecil selalu menempel di seragamnya yang lusuh, dirinya yang selama ini mengurus persediaan makan seluruh pasukanku dan menjadi perawat jika ada salah satu dari kami terluka terkena tembakan mortir Belanda. 

Namun yang sangat aku kagumi dari dia adalah keberanian dan keahliannya menjadi mata-mata, entah sudah berapa kali Ratna berhasil masuk ke dalam markas dan pos-pos Belanda, dia sering menyamar sebagai penjual nasi atau kue, wajahnya yang kekanak-kanakan dan tubuhnya yang bisa di bilang kecil untuk ukuran gadis pribumi membuat para kompeni tidak menaruh curiga dia sebenarnya adalah seorang pejuang. 

Sering dia mendapatkan kabar tentang rencana-rencana tentara Belanda yang akan melakukan konvoi atau menggempur pejuang kita, dan dengan lihainya pula dia menguping pembicaraan kompeni-kompeni yang sedang membeli nasi atau kue jajaannya. Berkat informasi itulah beberapa kali aku dan pasukanku berhasil memporak-porandakan konvoi pasukan musuh, bahkan kami masih ingat pada suatu hari berkat informasi dari Ratna pula kami berhasil membunuh perwira tinggi Belanda dan mendapatkan banyak sekali senjata sitaan dengan cara memasang ranjau darat dan menghujaninya dengan tembakan pada jalan yang dilalui konvoi itu.

****
Seminggu telah terlewat, kini luka di lengan kiriku perlahan mulai kering, berkat ramuan yang di buat Ratna lukaku terhindar dari infeksi, namun bila di gerakkan kadang masih menimbulkan rasa sakit walaupun cuma sedikit. Dalam seminggu ini aku dan pasukanku sudah empat kali kepergok patroli Belanda, semenjak perwira tinggi mereka tewas, hampir tiap malam mereka melakukan patroli yang ujung-ujungnya pasti menembaki rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa, entah sudah berapa desa mereka bumi hanguskan dengan alasan bahwa di desa itu adalah basis pendukung pejuang-pejuang seperti kami.

contoh cerpen pendidikan
Melalui pesawat radio satu-satunya, hampir setiap pagi aku mengikuti perkembangan di seluruh Indonesia, pak Dirman masih memerintahkan untuk terus bergerilya, sebab jalan diplomasi dengan Belanda agaknya berjalan alot, oleh sebab itulah hingga kini kami masih terus bersembunyi, hampir setiap minggu kami selalu pindah markas, sebab aku khawatir keberadaanku dan pasukanku tercium oleh musuh, aku dan pasukanku hanya menyerang pos-pos Belanda jika malam telah larut atau ketika Shubuh saat ayam jantan masih belum terjaga dari tidurnya.

Hingga akhirnya pada suatu pagi tanggal 27 Desember 1949 selang empat tahun setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, dari satu-satunya pesawat radio yang kami miliki, aku dan seluruh pasukanku mendengar berita bahwa Belanda telah mengakui kedaulatan dan kemerdekaan bangsa indonesia melalui Perundingan Meja Bundar. 

Belanda secara penuh mengakui kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia, berita itu bagaikan sebuah keajaiban, kemerdekaan yang sesungguhnya dan telah lama kami tunggu-tunggu akhirnya tiba di depan mata, semenit kemudian aku dan pasukanku tenggelam dalam suasana suka cita, tarian dan sorakan anak buahku memecah keheningan hutan tempat kami bersembunyi, bendera merah putih berukuran besar yang selama ini tersimpan di peti mesiu kami keluarkan, lantas berkibar dengan gagah di ujung bambu yang kami potong untuk dijadikan sebagai tiang. 

Ratna dan pasukanku yang lain berjingkrak-jingkrak kegirangan, seluruh anak buahku larut dalam perasaan bahagia yang tiada tara, rasa lelah di tubuh mereka hilang entah kemana, tak mereka hiraukan lagi perut yang melilit sebab dalam seminggu terakhir perut mereka hanya di isi ketela bakar dan daun-daun hutan. Ah masa bodoh rasa sakit di perut batinku, yang penting sekarang Indonesia telah menang, bangsa ini kini bebas dari kolonial Belanda, 

Kini Indonesia adalah negara yang berdaulat, tak sia-sia perjuangan kami selama ini, tak sia-sia pengorbanan empat puluh orang anggota pasukanku yang harus meregang nyawa di terjang peluru musuh, sebab kini kita semua telah merdeka dengan sebenar-benarnya. Ribuan nyawa yang gugur di medan laga menandakan bahwasanya perjuangan merebut kemedekaan tidaklah di capai dengan mudah, dan semakin menegaskan bagi kita bahwasanya kemerdekaan bangsa kita bukanlah hadiah dari Belanda, tapi semua ini adalah sebuah perjuangan panjang yang harus di bayar dengan tetesan air mata dan darah seluruh rakyat Indonesia.
****
Dua puluh tahun kini telah berlalu, sepulang dari perang aku tak lagi menjadi tentara, aku lebih suka menghabiskan sisa umurku dengan menjadi petani di desa kelahiranku, bekas-bekas anak buahku yang sebagian dari mereka kini sudah menjadi orang berpangkat masih sering berkunjung ke rumahku, mereka membawa serta anak-anak dan istri mereka. 

Pernah pada suatu hari salah satu anak buahku yang kini berpangkat Mayor jenderal mengajakku untuk ikut ke kota tempat dia dinas lalu tinggal bersamanya, mungkin dia trenyuh dan tidak tega melihat keadaanku yang serba pas-pasan, hanya mengandalkan hidup pada sebidang sawah dan gaji veteran yang sangat kecil sekali. Namun aku bersikeras menolaknya, aku lebih suka menghabiskan sisa hidupku dengan lumpur di sawah dan keringat di ladang, daripada aku harus hidup berdampingan dengan teman-teman seperjuanganku dulu, yang pasti akan kembali mengingatkanku pada malam-malam penuh tragedi sehari setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda dulu. 

Pada malam itu masih teringat dengan jelas di benakku ketika Tubuh mungil Ratna terpental karena kakinya menginjak ranjau darat yang pernah di tanam tentara Belanda waktu kami keluar dari hutan tempat persembunyian untuk menyongsong kemerdekaan. Hingga akhirnya tubuh Ratna telah kami temukan tidak bernyawa dengan separuh tubuhnya hancur tergeletak di antara akar-akar pepohonan pinus. Malam itu kami semua menangis, kenapa Ratna harus gugur setelah kemenangan berhasil di capai bangsa ini, mengapa duka itu terjadi ketika kami semua larut dalam kebahagiaan. Hingga sampai detik ini aku masih belum bisa melupakan kejadian itu, batinku benar-benar hancur apalagi saat teringat kata-kata terakhir yang dia pesankan padaku siang hari sebelum dia tiada.

“bang, sekarang aku bisa hidup tenang, tanpa harus keluar masuk hutan lagi, sebab kini kemerdekaan telah menjadi milik kita semua, setelah ini aku ingin memiliki rumah yang nyaman dan jauh dari desingan peluru, jika esok kita jauh jangan lupa engkau untuk mengunjungi rumahku ya bang !”
Kurang lebih begitulah kata-kata terakhir Ratna, sebelum dia pergi meninggalkan kami semua, kata-kata yang sampai saat inipun masih terngiang dengan jelas di gendang telinga. Ternyata perkataannya itu benar, kini dia tak perlu lagi keluar masuk hutan dan kini rumahnya jauh dari desingan peluru.

Sampai detik ini aku selalu menepati janjiku padanya, setiap tanggal kelahiran dan kematian Ratna, aku selalu menyempatkan diri untuk menziarahi makamnya.
Walaupun kini bangsa Indonesia telah benar-benar merdeka namun hatiku tidak pernah merasa merdeka, sebab hingga detik ini setengah tubuh Ratna yang hancur akibat ranjau itu masih terbayang jelas dipelupuk mataku.

Mereka telah habis” begitu canda pasukanku sembari merebahkan diri di antara pohon-pohon pinus.