Cerpen | Suami Laknat

By : Togar-AO 5

Setelah sekian lama, berada di kotamu hatiku mulai jenuh, hari-hariku hanya diisi dengan keluyuran dan begadang hingga shubuh datang. Aku rindu pulang. Di balik selimut tempat kita biasa bercumbu mulai kutemukan rasa jenuh dan bosan. Bibirmu tak lagi hangat, pelukanmu tak lagi mesra dan genggaman tanganmu kini mulai berkarat.

Akhir-akhir ini ada saja alasan supaya aku bisa memakimu, entah itu masakanmu yang kurang asin, jatah kopiku telat, atau bahkan hanya karena hal sepele yang seharusnya tidak membuatku uring-uringan. Namun engkau tetap diam dan engkau tidak pernah mengeluh walau seringkali
 contoh cerpen | contoh cerpen cinta | contoh cerpen cinta romantis | contoh cerpen cinta romantis sedih | contoh cerpen cinta romantis sedih suami laknat
wajahmu menjadi sasaran amukan tangan liarku. Engkau masih tetap tersenyum, di wajahmu tidak pernah tergantung mendung kesedihan, pada sinar matamu tidak pernah tergambar noktah kepedihan. Dengan kesabaran yang tidak di buat-buat engkau menunggu kobaran api di mataku memudar, bagai pudarnya unggun tersiram hujan di tengah puncak kemarau, hingga kini kulihat di matamu masih tersimpan secercah harapan agar aku bisa berubah, merubah ombak ganas dalam kehidupanku menjadi riak kecil yang tenang, seperti tenangnya pantai di saat purnama.

Sepuluh tahun perkawinan tidak membuatku mengenalmu dengan baik, watakku yang keras dan sifatmu yang lembut seringkali membuat diriku berubah menjadi liar. Memar bekas pukulan di pipimu dan darah yang mengucur di bibir tidak membuatmu mencucurkan air mata, apalagi menagis merengek-rengek seperti anak kecil yang tolol. Ketabahan seperti itulah yang membuatku tidak bisa untuk melepaskanmu. Setiap kali aku membutuhkanmu, engkau selalu datang dengan senyuman. Setiap aku merasa terasing, engkau selalu datang dengan api kerinduan di tangan, bisa kukatakan engkau adalah wanita penjelmaan sang dewi yang bersuamikan iblis laknat sepertiku.

Wajahmu lancip dan bermata jernih sejernih telaga zam-zam, wajahmu yang cantik sering membuat banyak orang menyumpahiku supaya cepat mati, agar dapat mengawinimu setelah kau menjadi janda. Namun selama ini mereka hanya berani berkomentar di belakangku. Wajahku yang sangar, badanku yang kekar dan separuh badanku yang di penuhi tato menjadi alasan mereka berpikir panjang untuk berhadapan denganku.

Aku tidak pernah takut pada siapapun, aku hanya takut pada papaku yang telah aku bunuh dua tahun lalu karena berani memasukkan isteri mudanya di kamar mendiang mama ku, kubenamkan kepalanya ke dalam bak air, hingga separuh matanya mendelik menatap kematiannya yang tergambar jelas. Sepeninggal dia aku tidak pernah takut pada siapapun, hingga akhirnya nyali orang-orang di kampungku ciut, mereka takut berbuat macam-macam pada isteriku, apalagi ada main dengannya, hingga akhirnya akupun merasa tenang meski meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama  untuk menemui selingkuhanku yang sekarang tengah hamil empat bulan.

Walau sekarang anakku telah memasuki jenjang pendidikan akhir sekolah dasar tapi hobiku selingkuh belum bisa aku hentikan. Entah sudah berapa kali aku kepergok saat sedang asyik bermain api dengan selingkuhan atau sekedar pelacur jalanan di kamar hotel, dan barang kali teramat sering ia memaafkanku dengan ketulusan hatinya yang anggun bak bidadari. ia tak pernah memakiku apalagi sampai menuntut cerai. Hingga pada akhirnya hatiku luluh, kecantikan dan kelembutannya perlahan-lahan membuka kedua pelupuk mataku tersinari oleh kelembutan dan keelokan hatinya yang tulus, kelembutannya sanggup merubah hidupku, lambat laun aku sadar bahwa dirinya sangatlah berarti bagi hidupku. Tulus sekali cintanya, barang kali itu yang membuat hatiku luluh.

Berbekal kesadaran itulah, perlahan-lahan aku menata kembali kehidupanku dengan dia, perlahan-lahan pula aku mulai belajar untuk menghargai setiap kata dan senyuman yang setiap saat bisa menyejukkan nurani ini, selimut tempat tidurku kembali hangat, genggaman tanganku kembali mulai mesra. Anakku kini mulai belajar utnuk melupakan tangan ayahnya yang dulu sering mendaratkan pukulan di tubuhnya yang kurus. Bahtera rumah tanggaku kembali menemukan sebuah titik cerah kehidupannya. Pohon-pohon yang memayungi
contoh cerpen | contoh cerpen cinta | contoh cerpen cinta romantis | contoh cerpen cinta romantis sedih | contoh cerpen cinta romantis sedih suami laknat
halaman rumahku kembali rimbun, kesejukan selalu menyambut saat aku membuka pintu di pagi yang damai di rumah kami. Kedamaian seperti itulah yang sebenarnya telah lama ingin aku dapatkan, hingga pada akhirnya Tuhan telah mengaruniakannya kepada kami melalui senyuman dan ketabahan yang di miliki istriku
Hingga pada suatu hari di siang yang terik, suami mantan selingkuhanku yang baru datang dari menjadi TKI mencariku dengan sebilah golok di tangan kanannya, golok itu berkilau bagai kilau taring srigala yang kelaparan di gelap malam. Aku sadar asap kematian kini tengah mengincarku, tanpa membuang-buang waktu aku berlari menuju tempat anak dan istriku, tanpa sempat mengunci pintu rumah ku raih parang yang dulu sering aku gunakan menebas kepala korbanku yang melawan saat aku menggarong rumahnya.

Sesaat kemudian rumahku porak poranda, damai yang sebelumnya menyelimuti tiba-tiba menghilang, serpihan kaca terlihat di sana-sini, jerit dan tangis istriku tak lagi kuhiraukan, semburan darah membasahi hamparan permadani tempat aku istri dan anakku biasa menonton televisi selepas maghrib. Hingga akhirnya suasana sepi kembali, parang di tanganku masih berlumuran darah. Suami mantan selingkuhanku sekarang entah ada dimana, mungkin dia lari pontang-panting menyelamatkan nyawanya dari liar dan ganasnya sabetan parangku. Ah masa bodoh, mataku mulai mencari sosok istriku, kemanakah dia, terlukakah dia, atau bahkan sudah matikah dia ?.
Namun belum sempat aku menemukannya mataku tiba-tiba menjadi gelap dan kepalaku terasa berat, akhirnya aku ambruk dengan luka menganga di perutku.
****
Saat aku menggapai pintu kamar malam mulai memasuki baranda Isya’, bekas-bekas perkelahianku tempo hari telah hilang, tak ada lagi pecahan kaca di teras rumah, tak ada lagi ceceran darah di ruang tamu, perabotan rumah yang kemarin berserakan kini tertata rapi di lemari ruang tengah, aroma dupa menyengat hidungku, susah payah aku berhasil membuka pintu kamar, kulihat kerumunan orang di ruang tamu sedang membaca tahlil dan yasin atau entah apa lagi. Kulihat anakku berada di tengah kerumunan itu, dirinya ikut larut dalam bacaan yang membuatku merasakan sebuah kedamaian yang aneh.
Aku beranjak menuju ke ruang tengah, kulihat istriku duduk termenung di sudut dekat lemari. anakku, dari matanya yang bening jelas terlihat bahwa dia menangis. Kupanggil namanya dari belakang, kusentuh bahunya dengan lembut dan kupeluk dirinya dengan semua kerinduan yang pada akhir-akhir ini kerap menggangguku. Tapi dirinya tak sekalipun menoleh kepadaku, seolah-olah tidak ada aku di sampingnya. Kembali kupeluk dia dengan setulus hati dan kubisikkan sesuatu di dekat telinganya, namun dia masih tetap acuh, dia hanya menoleh sebentar kepadaku lalu diam kembali seperti tak terjadi apa-apa. Hatiku dan jiwaku berontak, mengapa istriku yang dulu-dulunya selalu setia menyayangiku kini bersikap
contoh cerpen cinta romanis sedih suami laknat
acuh. Apa kesalahan yang telah aku perbuat Tuhan….?, khilaf apa yang telah aku lakukan sehingga dia yang aku cinta kini tega tidak memaafkanku dan mengacuhkanku, perasaan bersalah dan luapan emosi yang terasa aneh kini berkecamuk di otakku, hawa aneh itu kini membuatku seperti orang asing di rumahku sendiri, kenangan-kenangan tentang masa laluku mulai berdatangan kembali. Aku tak kuat Tuhan……apa yang sebenarnya yang telah terjadi pada diriku sehingga semua orang tidak ada yang sudi untuk sekedar menyapaku. Lama aku terjebak dalam kebingungan, hingga akhirnya kemarahan yang

meledak-ledak dan keputus asaan yang memenuhi hati ini menyuruhku untuk berlari, kuseret langkahku menuju kegelapan kebun di belakang rumahku, sia-sia bila aku terus berada di rumah itu, percuma aku berada di tengah kerumunan tetanggaku yang sedang membaca tahlil itu bila istriku kini tidak mempedulikanku lagi, aku hanyalah tubuh penuh luka yang tak berguna lagi untuk mereka. Aku terus berlari dan terus akan berlari sampai kakiku tak kuat lagi, gelapnya malam seakan-akan tak mampu menahan niat di hatiku untuk terus berlari, nafasku terengah-engah dan detakan jantung di dadaku seakan-akan mau meledak namun semua itu tak kuhiraukan, ku tetap berlari menembus gelapnya malam, hingga akhirnya aku terjerembab mencium tanah, kakiku tersandung sebuah batu nisan di atas gundukan tanah kuburan yang masih basah, wangi bunga kamboja kembali membuat kepalaku pusing, pandanganku berkunang-kunang, saatku berlari tanpa sadar aku telah memasuki pemakaman umum desaku, kepalaku masih terasa pusing dan pandanganku tetap berkunang-kunag namun kupaksakan mataku menebarkan pandangan walau di areal pekuburan itu gelap gulita.
Hingga akhirnya kesadaranku pulih setelah aku membaca nama yang tertulis pada batu nisan yang tadi menghalangi kakiku, nama di batu nisan itu masih tetap sama seperti kemarin, di batu nisan itu tertulis dengan jelas namaku dengan huruf kapital besar-besar “KARJONO, LAHIR 07 SEPTEMBER 1972. WAFAT 03 MARET 2008”. Belum selesai membaca tulisan itu tiba-tiba hawa aneh datang kembali, hatiku kembali berontak, mengapa kemarin aku harus terbunuh ketika berkelahi melawan suami mantan selingkuhanku itu, mengapa tidak kubacok saja kepalanya agar dia yang terbunuh, kini aku tak bisa lagi merasakan manisnya senyuman istriku dan tatapan sejuk mata anakku, ingin aku kembali ke tengah-tengah keluargaku, aku belum puas mereguk manisnya kasih sayang hati istriku dan indahnya kebersamaan di tengah-tengah mereka.

Kini Tuhan tak mungkin lagi mengijinkanku untuk kembali, sia-sia bila kuterus meratap, Tuhan tak mungkin akan melahirkanku kembali ke dunia walaupun rasa rindu dan penyesalan di hati semakin menyesakkan dada, kini aku telah menjadi mayat yang terbujur kaku dan duniaku kini telah berbeda dengan mereka. Teruslah engkau menari dengan kasih sayangmu wahai istriku, agar buah hati kita bisa merasakan indah cintamu, bukan mengingat api di mataku. Biarlah kini aku terbaring di sini, di bawah pohon kamboja tengah makam, kunjungilah aku jika kau ada waktu dan bawalah serta anak kita agar aku tak lagi rindu di atas sana.

-0- selesai