Cerpen | Rindu : By Togar

RINDU
By : Togar-AO 5)

Tanah makam itu masih basah, di atasnya tampak tumpukan bunga melati dan mawar yang masih segar pertanda bunga itu baru di tabur, malam masih belum sepenuhnya tiba, lembias warna kuning masih tersisa di ufuk langit sebelah barat, sesekali terdengar suara burung bercericit terbang rendah di atas areal pemakaman tempat ku duduk terpekur di depan sebuah nisan, mungkin burung itu tengah mencari jalan pulang menuju sarangnya selepas sehari sibuk bermain di areal persawahan yang sudah mulai jarang terlihat, termusnahkan oleh berdirinya bangunan-bangunan tembok di kampung ini. Ku perhatikan sekelilingku, kerlip kunang-kunang mulai tampak terlihat bermunculan dari balik rerumputan makam, namun aku masih belum beranjak dari tempatku duduk, aku masih asyik dalam kesendirianku, masih tetap termenung menatap makam di depanku.
Lamunanku mengembara pada tahun kedelapan sebelum aku menemukan dirinya terbaring kaku 

Contoh Cerpen | Cerpen Romantis | Cerita Romantis | Rindudengan  mata terpejam menyisakan harapan kecil dalam diam yang fana. Dia biasa memanggilku dengan sebutan HONEY sebutan yang mungkin bagi orang lain tak berarti apa-apa namun bagiku sebutan itulah adalah panggilan yang paling indah. Tubuhnya yang mungil dan tingkah nya yang manja masih teringat jelas dalam benakku, betapa manisnya jika dia cemberut, dan betapa indah matanya yang berbinar jika pada suatu sore aku datang dengan sekuntum bunga mawar merah di tangan kanan ku.
Namun semua itu tidak berarti apa-apa saat datang kabar bahwa aku harus pergi dari kota ini dalam waktu yang lama, orang tuaku mengultimatum aku untuk meneruskan kuliah ku ke Yogyakarta, sebuah kota yang selama ini hanya aku lihat di televisi, sebuah kota yang konon telah melahirkan ratusan bahkan ribuan seniman di tanah air, sebuah kota yang di dalamnya terdapat surga bagi para calon-calon seniman. 
Jujur hal itulah yang menarik hatiku, mimpi untuk mereguk suasana damai senja di Malioboro sembari tangan menulis bait puisi pada secarik kertas, menatap rembulan di

Pangadaran atau menghabiskan waktu di situs-situs purbakala Borobudur, hal itulah yang selalu mengusik tidurku pada malam-malam terakhir sebelum aku meninggalkan dia. Hingga dalam senja yang panjang aku tekadkan hatiku menembus rasa bimbang, kuputuskan untuk meninggalkan kota ini dan meninggalkan dirinya hanya dengan mengabari kepergianku pada sepucuk surat yang ku titipkan pada adikku. Betapa kejamnya aku, selalu saja tak sanggup untuk melihat tetes air mata di pipinya jika aku berdiri hanya untuk mengucapkan kata selamat tinggal.
****
contoh cerpen | cerpen romantis | cerita romatis RinduSetahun pertama rasa rindu padanya terasa menggunung walau setiap hari kami selalu berkirim kabar dan bertukar cerita melalui sms atau telepon, namun rasa itu selalu aku bisa kesampingkan dengan menyibukkan diri pada tumpukan buku-buku sastra dan tugas-tugas perkuliahan semester pertamaku di salah satu fakultas cabang seni di kota itu, hampir saja aku berniat untuk pulang pada liburan semester ke dua ku, namun wanti-wanti orang tuaku di telepon agar aku tidak usah pulang mengurungkan niatku walau rasa rinduku pada dia telah benar-benar menggunung, 

hingga dapat kupastikan uang kiriman dari orang tua tidak ada jatah untuk transport pulang di dalamnya Tahun kedua aku mulai bisa melupakan dia, berkirim kabarpun hanya sesekali dalam satu bulan, itupun hanya sepatah kata dalam penggalan sms, entah sudah berapa puluh ribu alasan yang aku ucapkan hanya untuk cepat-cepat mematikan telepon waktu dia menelepon, entah ada rapat organisasi, entah ada pementasan teater, entah ada seminar budaya atau entah ada apa lagi lah, yang penting dia cepat mematikan telepon dan mengakhiri telepon dengan kata maaf  karena menelepon di saat yang salah. 

Hal itu berlangsung ber bulan-bulan namun dia selalu saja setia untuk menelpon aku atau sms, walau hanya untuk mengingatkan ku untuk tidak melupakan shalat dan jangan sampai telat makan agar penyakit magg ku tidak kambuh.*****

Mudah di tebak pada tahun-tahun berikutnya aku telah benar-benar melupakan dia, kehadiran seorang gadis telah berhasil merampas semua rasa rinduku padanya dengan cara yang teramat kejam. Ribuan pesan dan puluhan surat darinya tak lagi aku hiraukan, akhirnya ku bulatkan tekadku untuk ganti nomer telepon, sebuah cara yang ku anggap paling logis dan paling tidak menyakitkan untuk perlahan meninggalkan dia tanpa harus berdebat atau bertukar kata-kata yang akhirnya akan membuat dia menangis. 

Kehadiran seorang gadis yang aku kenal saat aku menikmati sore di malioboro telah membuat hatiku tak lagi mengingat janji-janjiku untuk setia yang aku tuangkan dalam surat ku padanya dulu. Gadis itu datang pada ku bagaikan putri, bersamanya imajinasiku semakin tertata, hingga aku semakin sering menulis bait-bait di sore malioboro tapi bukan berkisah tentang rasa rinduku untuknya lagi, sebab sepenggal hati yang lain kini telah menemaniku.

Tak terasa tiga setengah tahun aku berada di kota itu, dan tak terasa pula telah tujuh semester aku lewati, hari-hariku berjalan datar dengan cinta baruku itu dan aku telah benar-benar terlupa pada dirinya yang menungguku dengan setumpuk rindu dan sepenggal kesetiaan menunggu kedatangan ku kembali di hadapannya. Hingga pada suatu malam yang dingin aku menerima telepon dari salah satu keluargaku memintaku untuk pulang mengabarkan bahwa dirinya ingin bertemu diriku sebelum ajal menjemputnya, dan dari telepon itu pula aku mengetahui bahwasanya setahun yang lalu dokter telah memvonis dirinya menderita kanker dan nyawanya hanya tersisa dalam hitungan bulan saja, dan malam ini dia terbaring lemah di ranjang rumah sakit hanya menghitung detik-detik waktu untuk menjemput nyawanya.

Berita itu membuat seluruh persendianku terasa lemas, tiba-tiba muncul rasa  bersalah memenuhi rongga hatiku, Kenagan-kenangan ku bersamanya dulu tiba-tiba datang kembali di depan mata, senyumnya tiba-tiba hadir kembali, ruas-ruas jalan yang dulu pernah kami tapaki bersama perlahan mulai terpahat kembali dalam hatiku, tanpa menunggu waktu di dini hari itu pun aku langsung berkemas walau malam masih belumlah Shubuh, setengah berlari menuju pangkalan becak, satu-satunya kendaraan yang tak pernah tidur di kota itu walau malam telah berselimut dingin, untuk mengantarkan ku mencegat kereta api pertama jurusan Yogyakarta-Surabaya di stasiun.
****
Mas .....
Mungkin selama ini rinduku hanya fatamorgana
Aku tahu letak kesetiaan hanyalah sebatas lambaian tangan
Sebab aku tahu engkau pasti akan melupakanku semenjak engkau melambaikan tangan dulu

Namun jangan pernah menyamgka aku telah bosan
Selama ini  aku masih setia dengan semua kerinduan ini mas .......
Mungkin hanya itu yang bisa aku persembahkan untuk hidup ku dan orang yang sangat aku cintai sebelum ajal datang menjemputku

Dan kini semuanya telah terjadi,
Sebab takdir Tuhan tak akan pernah tergagalkan
Aku ingin mentitipkan rasa rindu ini untukmu, tapi hanya  sebagian
Sebab bagian yang lain ingin aku persembahkan pada hatiku yang selama ini selalu tesakitkan oleh rasa rinduku padamu

Dan juga karena aku tidak  ingin kisah ku ini  terdengar oleh anak-anakmu kelak
Siksa seorang wanita yang mencintai ayahnya, namun tidak pernah bisa menjadi ibu untuknya.
Doakan aku jika engkau ada waktu mas......,

Dan kunjungi aku......
Sebab rindu itu masih ada
Walau tubuhku telah menjadi debu
Salam sayang
HONEY

Begitu bunyi selembar surat yang dia tinggalkan untukku, sebab memang aku tidak pernah lagi menatap matanya meski untuk terakhir kali, dia telah berpulang lima jam sebelum aku tiba, di menutup mata untuk selama-lamanya sebelum aku sempat bertemu dengannya, aku datang hanya menemukan sesosok tubuh beku dengan mata terpejam dalam baka, tubuhnya yang kurus kaku terbujur dalam pelukan kain kafan, dan kulihat setangkai mawar yang pernah ku berikan padanya dulu tergeletak di sebelah kanan kepalanya. Dan seperti cerita ibunya, dia meninggal dengan iringan kalimat sahadat dan setangkai mawar itu masih ada dalam genggamannya.

Dan di maghrib ini aku kembali termenung di depan makamnya, cericit burung di dahan tak lagi terdengar, puluhan kunang-kunang mulai mengabarkan bahwa malam mulai gelap, akhirnya setengah terpaksa aku bangkit dari tempat dudukku, sebab aku harus kembali ke Yogyakarta dengan kereta yang berangkat sehabis Isya. Gontai aku melangkahkan kaki keluar dari areal tanah pemakaman itu, sejenak kutolehkan kepala, kulihat dirinya bergaun putih berdiri di atas makam dengan senyum manja dan setangkai mawar pemberianku di tangannya.
****